Pertanyaan:
Bagaimana hukum memakan ulat, entung dan sejenisnya?
Jawab :
Sesuai dengan Kitab Fathul
Wahhab, juz II halaman 191, Syaikh H. Ahmad Rifa’i berfatwa: Terhukum halal
ulat yang terdapat di dalam makanan (minuman dan buah-buahan), seperti werak (dalam cuka)
yang tidak bisa pisah dari makanan itu karena sukar. Lain halnya kalau ulat itu
pisah dari makanan, maka hukumnya tidak halal yakni haram. Sekalipun ulatnya
dimakan bersama makanan tersebut, tetap haram.
Selanjutnya dikatakan: bahwa
perkataan Mushanif: Halal ulat yang terdapat di makanan itu untuk dimakan, itu
membawa pengertian bahwa sesungguhnya ulat yang tidak keluar dari makanan itu
tidak halal yaitu hukumnya haram. Dan di antara dari haram ialah, lebah/kumbang
terjatuh di dalam madu. Imam al-Ghazali berkata: Kecuali ketika diketahui
terjatuh kumbang atau lalat dan hancur lebur seluruh bagian tubuhnya di dalam
madu, maka sesungguhnya yang demikian ini boleh memakan/meminum madu bersama
lebah/kumbangnya. Karena sesungguhnya kumbang atau lalat, tidak menajiskan
madu. Itulah kemudahan hukum syara’ dan itulah yang terdapat dalam Hasyiyah
Bujairami atas Syarah Minhajut Thulab, juz IV halaman 303 dan hal ini merupakan
qaul yang Mu’tamad (Bisa dipegangi).”
Ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa halal memakan ulat yang berkembang biak di makanan seperti pada cuka dan buah, namun dengan syarat:
1. Ulat dimakan dengan makanan (buah/sayuran), baik ulat tersebut
hidup atau mati. Jika hanya ulat saja yang dimakan, maka tidak halal.
2. Ulat tidak diambil secara tersendiri. Jika dipisah secara
tersendiri, maka tidak halal dimakan. Kedua syarat pertama ini bermakna taabi’,
artinya ulat tersebut hanya sebagai ikutan.
3. Ulat tersebut tidak merubah rasa, bau, atau warna makanan jika
makanan tersebut cair. Namun, jika ulat tersebut merubah ketiga hal tadi, maka
tidak halal disantap atau diminum karena ketika itu dinilai najis.
Hal di atas diqiyaskan
(dianalogikan) dengan ulat yang berkembang biak pada kurma atau sayuran lalu
dipanasi. Ulat tersebut halal dimakan selama tidak mengubah keadaan air. Begitu
pula hal di atas dianalogikan dengan semut yang jatuh dimadu. Semut jika
disantap sendiri jelas tidak halal, berbeda halnya jika semut tersebut ada
bersama gula atau madu.APA ADA NASHNYA?
Ada yang tanya, DASARNYA APA KOK ULAMA’ MENGHARAMKAN?
Ada yang tanya, DASARNYA APA KOK ULAMA’ MENGHARAMKAN?
Ketika Imam Ahmad mendapati sayuran yang terdapat ulat
di dalamnya. Beliau lantas berkata,تجنّبه أحبّ إليّ ، وإن لم يتقذّر فأرجو“Menjauhi
sayuran semacam itu lebih aku sukai. Namun jika tidak sampai mengotori
(menjijikkan), maka aku pun mau.” Imam Ahmad menganggap tidak mengapa jika kita
menyelidik-nyelidik kurma yang terdapat ulat. Lihat contoh dari Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أُتِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِتَمْرٍ عَتِيقٍ فَجَعَلَ يُفَتِّشُهُ يُخْرِجُ السُّوسَ مِنْهُ.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi kurma yang sudah agak lama (membusuk),
lalu beliau mengorek-ngorek kurma tersebut. Lantas beliau mengeluarkan ulat
dari kurma itu. (HR. Abu Daud no. 3832)
Nah…. NABI TIDAK MENGKONSUMSI
ULAT KAN?????….
Wallahu A’lam……