Selain ibadah zakat, berkurban yang
terjadi bertepatan dengan Idul Adha ini adalah momentum amat penting
dalam kehidupan beragama yang tidak hanya menarik garis lurus secara
vertikal, tetapi juga horizontal. Artinya, ibadah yang tidak hanya mampu
menjalin kemesraan dengan Alloh tetapi juga mengandung implikasi
sosial. Penyembelihan hewan kurban yang bertitik tolak pada kisah nabi
Ibrahim dan putranya nabi Ismail tersebut, menyimpan makna yang bernilai
agung, terutama bagi kaum muslimin yang memiliki kekayaan dan
pendapatan yang melebihi keperluan hidup keluarganya, agar dapat
menyumbangkan sebagian hartanya berupa hewan kurban sebagai manifestasi
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus menjalin keharmonisan
dengan sesamanya, terutama mereka yang selalui dihimpit dengan
kesengsaraan dan kekurangan.
Peristiwa penyembelihan kambing oleh
nabi Ibrahim telah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Peristiwa
tersebut terus diabadikan dan dilestarikan oleh umat Muhammad SAW.
dengan motif sebagaimana tersebut dalam surat al-Kautsar ayat 1-3:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ
Artinya: Sesungguhnya
kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah
shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang
membenci kamu dialah yang terputus.
Ayat ini menyatakan bahwa Alloh telah
memberikan kenikmatan yang banyak kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena
itu beliau bersyukur kepada Alloh dengan mengerjakan sholat dan
berkurban. Tentunya Alloh tidak hanya memberikan kenikmatan kepada
rasulullah SAW tetapi juga kepada semua makhluk-Nya, termasuk kita.
Dengan demikian sebagai wujud syukur atas segala nikmat yang telah
diberikan-Nya, kita laksanakan perintan-Nya sebagaimana termaktub dalam
QS. Al-Kautsar di atas. Terlebih bagi yang mempunyai kelebihan harta.
Ibadah kurban tidak hanya dikenal dalam
Islam. Artinya, agama yang lain pun menuntut umatnya untuk mengorbankan
hartanya untuk Tuhan. Namun di dalam Islam, bukan daging atau darahnya
yang diserahkan kepada Tuhan tapi keikhlasan berkorbanlah yang dinilai
oleh Tuhan. Sementara dagingnya dibagikan kepada sesama guna
dimanfaatkannya.
Tradisi kurban di luar Islam biasanya
dibudayakan pada saat-saat tertentu sebagai persembahan kepada Tuhan
mereka dengan harapan Tuhan akan mengabulkan doa dan harapan mereka.
Cara yang dilakukan pun tidak menggambarkan etika penghormatan terhadap
Tuhan. Misalnya dengan menyiramkan darah binatang yang disembelih ke
dinding tempat peribadatan dan dagingnya dilemparkan ke depan pintunya.
Mereka beranggapan bahwa Tuhan menghendaki darah dan daging tersebut.
Bahkan tradisi kurban mereka ada yang merugikan diri mereka, seperti
tradisi pengorbanan anak-anak mereka.
Dengan demikian, maka kurban disamping
mengandung dimensi keTuhanan juga dimensi kemanusiaaan. Dimensi
kemanusiaan terlihat dengan distribusi hewan kurban pada yang berhak.
Sedang dimensi ini pun tidak akan mempunyai nilai apa-apa di hadapan
Alloh SWT manakala tidak disertai refleksi takwa kepada-Nya. Artinya,
bentuk solidaritas sosial yang diwujudkan melalui kurban itu ditunaikan
dalam rangka menunaikan anjuran Rasululloh SAW dan diniatkan hanya
mencari ridha Alloh SWT dengan penuh keikhlasan.
Lebih dari itu, nilai pembagian daging
kurban kepada manusia yang berhak jika diambil makna yang lebih dalam
lagi, adalah merupakan upaya terapi psikologis atas kesenjangan sosial,
kaya miskin, makmur melarat. Ibadah kurban sebagai wahana hubungan yang
dilandasi oleh rasa memiliki kemanusiaan, sehingga menumbuhkan kasih
antar sesama. Inilah ibadah yang mencerminkan pesan Islam, dimana
manusia dapat dekat dengan Tuhannya bila ia mendekati saudara-saudaranya
yang berkekurangan.