Cairan putih yang keluar dari kemaluan seorang wanita, akibat penyakit keputihan apakah termasuk haid? Najis ataukah tidak? Dan bagaimana caranya shalat bagi wanita tersebut?
Jawaban:
Tidak
termasuk haid. Cairan putih sebab keputihan hukumnya najis, karena keluar dari
dalam farji. Untuk masalah shalat bagi wanita yang menderita
keputihan, apabila cairan itu keluar terus menerus seperti orang beser,
maka berlaku hukum seperti orang yang beser.
Cara
yang harus dilakukan adalah dengan mensucikan kemaluan/farji, setelah itu
disumbat dengan pembalut atau kapas. Barulah kemudian berwudlu dengan
menyegerakan shalat. Penderita keputihan dan orang yang beser tidak boleh
menunda-nunda shalat setelah berwudlu, kecuali untuk kemaslahatan shalat
seperti menjawab adzan atau menunggu jamaah.
Hasyiyah Jamal II hal. 149
) قَوْلُهُ وَرُطُوبَةٍ فَرْجٍ ) هِيَ مَاءٌ أَبْيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْعَرَقِ وَمَحِلُّ ذَلِكَ إذَا خَرَجَتْ مِنْ مَحَلٍّ يَجِبُ غَسْلُهُ ، فَإِنْ خَرَجَتْ مِنْ مَحِلٍّ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ فَهِيَ نَجِسَةٌ ؛ لِأَنَّهَا رُطُوبَةٌ
جَوْفِيَّةٌ وَهِيَ إذَا خَرَجَتْ إلَى الظَّاهِرِ يُحْكَمُ
بِنَجَاسَتِهَا
وَإِذَا لَاقَاهَا شَيْءٌ مِنْ الطَّاهِرِ تَنَجَّسَ
Pernyataan
cairan dalam kemaluan yaitu cairan putih yang ambigu antara madzi dan keringat.
Titik tekan masalah ini, yaitu ketika cairan itu keluar dari tempatnya yang
wajib membersihkannya. Apabila cairan itu keluar dari tempat yang tidak wajib
dibersihkan maka dihukumi najis, karena hal itu merupakan cairan dari dalam.
Apabila cairan itu keluar dari anggota dzahir, maka dihukumi najis. Apabila
sesuatu yang suci bersentuhan dengannya maka menjadi mutanajis.
Minhaj al Tullab I hal 26
والاستحاضة كسلس
فلا تمنع ما يمنعه الحيض فيجب أن تغسل مستحاضة فرجها فتحشوه فتعصبه بشرطهما فتطهر لكل فرض وقته وتبادر به ولا يضر تأخيرها لمصلحة كستر وانتظار جماعة
Istihadzah (darah
penyakit) itu seperti orang yang beser, maka orang yang istihadzah tidak tercegah
melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang haid. Maka wajib
bagi seorang yang istihadzah untuk mensucikan farjinya, menyumpal dan
membalutnya sesuai dengan syarat-syaratnya, kemudian berwudlu. Hal ini wajib
dilakukan setiap akan menjalankan shalat fardlu dan bersegera menjalankannya.
Mengakhirkan shalat (setelah wudlu) diperboleh bila untuk kemaslahatan
seperti menutup aurat atau menunggu jamaah.